Advertisement
SINGARAJA, KABAR NETIZENS.com - Usaha Galian C ilegal di atas tanah yang diduga hasil penyerobotan di Desa Pangkungparuk, KecamatanSeririt, Kabupaten Buleleng, Bali, kini sudah bergulir di meja penyidik Satreskrim Polres Buleleng.
Laporan dugaan penyerobotan tanah itu dilaporkan Made Ardita, pemegang kuasa dari pemilik tanah Sia Yanto, dengan didampingi Ketua DPC Garda Tipikor Indonesia (GTI) Buleleng, I Gede Budiasa, pada tanggal 22 Agustus 2024 lalu. Laporan itu sudah ditindaklanjuti polisi dengan meminta keterangan sejumlah saksi termasuk saksi pelapor Ardita.
Kendati demikian, Ketua DPC GTI Buleleng, I Gede Budiasa, menilai polisi masih lambat bertindak sehingga usaha Galian C terus beraktivitas. Budiasa mendesak penyidik Satreskrim Polres Buleleng harus segera memasang poluce line di tanah sengketa yang dipakai untuk usaha Galian C itu. “Saya dari GTI meminta polisiuntuk segera memasang police line di Galian C itu. Karena usaha Gali C dengan menggunakan alat berat (beco) masih terus berjalan. Polisi harus segera pasang police line,” desak Budiasa usai memberikan keterangan bersama sejumlah saksi di Polres Buleleng, Jumat (6/9/2024) siang.
Kata Budiasa bahwa oknum KS yang memiliki usaha Galian C itu tidak menghormati Pemerintahan Desa Pangkungparuk. Budiasa membeberkan bahwa Perbekel Pangkungparuk yang sudah berulangkali meminta KS untuk menghentikan usaha Galian C itu namun tidak dihiraukan bahkan aktivitas Galian C berjalan terus sampai sekarang, “Perbekel saja sudah tidak dihargai. Perbekel sendiri turun langsung minta dihentikan, tapi pemiliknya cuek saja. Makanya dengan adanya laporan ini, polisi harus segera turun dan pasang police line,” tandas Budiasa.
Gusti Nyoman Jati Permana, mantan Sekretaris Desa Adat Pangkungparuk, yang juga hadir Polres Buleleng sebagai saksi, menceritakan panjang lebar sejarah tanah itu. Diceritakan bahwa tanah itu awalnya adalah tanah negara seluas kurang lebih 8,64 hektare, yang dikemudian dijadikan tanah plaba Desa Pangkungparuk. Kemudian diajukan pembuatan sertifikat namun tidak diizinkan masyarakat. “Sudah dua kali diajukan tapi tidak diizinkan, biarkan tanah itu tetap sebagai tanah plaba desa, Kemudian ditetapkan 12 penyakap untuk menggarap tanah itu,” cerita Jati Permana.
Tahun 2017, sebut Jati Permana, ada informasi bahwa tanah itu akan disertifikatkan. “Setelah diadakan paruman desa, ternyata bukan disertifikatkan, hanya di-SPPTK. Tujuannya untuk mengikat tanah negara biar nanti sah menjadi milik desa adat, biar tidak diakui oleh desa tetangga Lokapaksa dan Banjarasem. Begitu ceritanya,” kisahnya.
Ironisnya, beber Jati Permana, pada tahun 2021 tepat Hari Raya Nyepi, nama Jati Permana dicatut bahwa Jati Permana diisukan menjual tanah itu dengan harga Rp 1,3 miliar. Karena merasa tidak pernah menjual tanah sebagaimana diisukan, Jati Pemana pun langsung mencari kebenaran isu itu dengan menanyakan ke Kelian Banjar Adat dan Kelian Pecalang Desa Adat Pangkungparuk. Jawabannya, informasi itu diperoleh dari Kelian Banjar Dinas (Kepala Dusun). “Saya cari langsung Kepala itu pas Nyepi. Ketemu Kepala Dusun, dijelaskan bahwa informasi itu didapat dari Jro Bendesa (Jro Bendesa saat itu Gede Arsa Wijaya),” cerita Jati Permana.
“Setelah ketemu keterangan dari Kadusnya, saya segera dirapatkan dengan masyarakat. Soalnya ini sudah mencemarkan nama baik saya. Saya minta rapat diadakan di balai banjar, biar siapapun warga masyaraat bisa langsung menghadiri. Saat rapat saya diusir dari rapat karena dibilang saya tidak dibutuhkan karena di luar penyakap. Tapi tyng (saya, red) tanya lagi saya adalah warga masyarakat adat apalgi saya yang tahu sekali tanah ini; saya wajib menanyakan ini, ada apa dengan ini? ada apa dengan penjualan tanah tersebut kok saya nyatut nama saya?” cerita Jati Permana.
“Akhrinya di sana dijelaskan oleh Gusti Nyoman Tambun dan Made Sukadana bahwa dia hanya dipinjam nama saja untuk pensertifikatan. Untuk perjanjian jual-beli sepertinya diserahkan kepada Desa Adat,” sambungnya lagi.
Kemudian, ungkap Jati Permana, pohon jati yang di tanah tersebut ditebang semua oleh Gusti Nyoman Tambun. Hal ini membuat situasi di masyarakat kembali bergejolak dan Jati Permana kembali meminta Kelian Banjar Adat menggelar rapat di desa. “Akhirnya rapat di wantilan Pura Dalem, masih di suasana Nyepi tahun 2012. Disana muncul kesepatakan bahwa galian itu harus segera ditutup karena penggalian di tanah negara atau plaba desa. Yang diutus menutup galian itu Bhabinkamtibmas dan Ketua Pecalang. Tapi malah saya yang dilaporin ke Polres. Alasan pencemaran nama baik dan intimidasi galian. Padahal bukan saya, itu (penutupan galian, red) perintah dari desa adat dan desa dinas untuk sementara penutup operasional galian itu,” papar Jati Permana.
Kapan anda mengetahui tanah itu sudah disertifikatkan? “Setelah tyang (saya, red) dilaporkan ke sini (Polres Buleleng, red) barulah saya tahu juga, bahwa tanah plaba desa itu jadikan tiga sertifikat. Satu atas nama Gusti Nyoman Tambun, terus yang kedua atas nama Made Sukadana, dan yang ketiga atas nama Wayan Sukadana. Tapi sudah dibalik nama Sia Yanto,” jawab Jati Permana.
Nah, setelah mendapat informasi dan bukti sertifikat itu, papar Jati Permana, dia pun menyebarkan informasi itu kepada masyarakat Pangkungparuk bahwa tanah plaba desa itu ada yang menjualnya atas nama Wayan Sukadana. “Tyang (saya, red) datangi Wayan Sukadana, dia tidak tahu menahu. Karena sudah ada intimidasi dari warga, kita juga tidak tahu uang hasil penjualan itu kemana, dipakai untuk apa, akhirnya Wayan Sukadana meminta perlindungan ke Polres Buleleng,” cerita Jati Permana lagi seraya menambahkan, “Baru tyang (saya, red) minta mediasi lagi desa adat untuk merapatkan. Disana saya meminta mereka untuk mengakui, bagaimana kronologi penjualan, prosese penjualannya, sampai ada ribut-ribut seperti ini kok desa diam-diam saja. Mereka semua tidak mengakuinya. Karena saya sudah dapat bukti-bukti itu, saya langsung tunjukkan di depan krama, saya juga mau diusir di sana.”
Jati Permana menuturkan, saat rapat itulah BPD Pangkungparuk (waktu itu) Made Swastika menjelaskan bahwa proses pensertifikatan tanah itu diajukan saat Prona dengan menghabiskan dana Rp 250 juta. “Saya ambil pengeras suara, kalau memang bapak memproses di Prona, setahu saya Prona itu tidak dipunggut biaya. Kalau pun kiya keluarkan dana untuk makan dan minum, itupun tidak sampai Rp 500 ribu. Itu sampai Rp 250 juta, hati-hati loh bapak ngomong, siapa yang menyalahgunakan dana ini. Ternyata tanah 8,62 ha itu memang sudah semua terjual,” ungkap Jati Permana.
Kemudian atas tuntutan dan desakan Jati Permana, akhirnya diakui bahwa ada dana masuk Rp 300 juta dan tanah itu akan dibayar Rp 1,3 miliar. “Info dari pembeli langsung, Pak Sia Yanto sendiri bahwa tanah 62 are itu dibayar Rp 400 juta, yang 5,90 ha itu kurang lebih Rp 5,9 miliar. (Sia Yanto) Ini diakui dengan Kepala Dusun. Kemarin Pak Sia Yanto bilang sendiri ke saya ‘kalau ada lagi yang melakukan kegiatan di tanah saya, tolong segera lapor ke Made Ardita karena beliau yang saya kasih kuasa untuk menjaga, mengawasi tanah saya yang di Pangkungparuk’. Kegiatan kemarin ada kegiatan (pnggalian, red) itu saya informasikan. Kemudian Pak Ardita sama bapak-bapak turun mengecek titik koordinasi tanah itu ternyata benar dan jelas tanahnya Pak Sia Yanto,” urai Jati Permana.
Jati Permana juga mengungkapkan bahwa tanah itu masih dalam sengketa dengan Desa Pangkungparuk karena informasinya dana Rp 1,3 miliar itu belum dilunasi ke Pemdes Pangkungparuk. “Kemarin ada informasi masuk pertanggal 20 Agustus 2024 katanya sudah disetor Rp 700 juta, ketika saya cross check ke Bendahara Desa Adat Pangkungparuk hanya masuk Rp 200 juta. Kalau memang Bu KS sudah membayar, entah siapa yang membawa Rp 500 juta itu. Itu jadi pertanyaan,” kisah Jati Permana.
Sementara Made Ardita, saksi pelapor, mengaku bahwa sebelum dirinya melaporkan kasus tersebut ke Polres Buleleng, sudah terlebihdahulu melaporkan kepada pemilik tanah Sia Yanto.(tim_netizens)